Wednesday 3 October 2012

tugas s.agung putranto

Tugas
Pendidikan kewarganegaraan

DISUSUN OLEH :
X tkr 1
1.ARIS RIYANTO            (   
2.DIKYAPRIYANTO       
3.DANANG SAPUTRO
4.IKHSAN YULIANTO


PATRIOTISME
Patriotisme:Ancaman Bagi Kebebasan
Apakah patriotisme itu ? Apakah cinta dengan tempat lahir seseorang, tempat seseorang mengenang masa kecil, mimpi dan aspirasinya ? Dengan sebuah tempat, dimana kita dengan jiwa kekanak-kanakan memandang awan yang bergerak dan bertanya mengapa kita tak dapat begerak secepat awan itu ? Dengan tempat dimana kita melihat bintang-bintang betebaran di langit ? Dengan tempat dimana kita mendengar kicauan burung dan berangan-angan ingin bisa terbang seperti burung ke tempat nun jauh ? Atau, apakah cinta dengan tempat kita dipangku ibu mendengar dongeng-dongengnya ? Singkatnya, apakah patriotisme itu adalah cinta dengan setiap jengkal tempat dimana kita dibesarkan dan bermain, dimana kita dapat mengenang masa kecil yang penuh dengan kegembiraan ?
Kalau itu adalah patriotisme, hanya sedikit orang Amerika yang bisa menjadi patriotik, karena tempat bermainnya sudah dibangun menjadi pabrik-pabrik dan dengungan mesin telah menggantikan musik (kicauan) burung.
Kalau begitu, apakah patriotisme itu ? Leo Tolstoy, anti patriotisme terbesar zaman ini, mendefinisikan patriotisme sebagai suatu prinsip yang membenarkan pelatihan pembunuh ; suatu usaha yang memerlukan peralatan yang lebih canggih untuk membunuh manusia daripada untuk membuat keperluan manusia, misalnya, sepatu, pakaian dan rumah ; usaha yang dapat membawa kebesaran dan sukses, lebih daripada usaha-usaha lain.
Gustava Herve, juga seorang anti patriot yang besar, mengartikan patriotisme dengan tepat. Menurutnya, patriotisme adalah takhyul yang lebih bahaya dan brutal daripada agama. Takhyul agama berasal dari ketidak mampuan manusia untuk menjelaskan fenomena alami. Misalnya, ketika seorang manusia primitif mendengar geledek dan melihat kilat, dia tidak dapat menjelaskan kejadian itu dan menganggap bahwa ada kekuatan yang lebih besar darinya. Dia juga akan menganggap semua fenomena lain, seperti hujan sebagai fenomena gaib. Lain dengan patriotisme yang merupakan takhyul yang diciptakan dan dipertahankan secara artifisial, melalui jaringan penipuan dan kebohongan ; tahkyul yang merebut kehormatan seseorang dan membuatnya sombong.
Memang, egoisme dan kesombongan adalah sifat-sifat yang harus dimiliki seorang patriot. Saya akan coba menjelaskan pernyataan di atas. Paham patriotisme menganggap bahwa dunia ini terpecah menjadi bagian -begian kecil, setiap bagian dikelilingi pintu besi. Mereka yang beruntung (kebetulan) lahir dalam sebuah bagian tersebut, akan menganggap diri mereka lebih tinggi derajatnya, lebih pandai dan lebih segala-galanya (dibandingkan dengan manusia di luar pintu besinya). Jadi merupakan tugas bagi setiap orang yang lahir di bagian yang ’terpilih’ itu untuk berperang, membunuh dan mati untuk membuktikan "kebenaran dan kelebihannya" kepada orang lain di luar pintu besinya.
Mereka yang tinggal di bagian-bagian lain, akan mempunyai jalan pikir yang sama. Sudah pasti demikian, karena sejak masih kanak-kanak pikiran mereka sudah diracuni dengan cerita-cerita yang penuh prasangka (untuk menimbulkan kebencian) terhadap orang-orang asing. Ketika anak -anak itu sudah menjadi dewasa, pikirannya sudah dipenuhi dengan kepercayaan bahwa dia adalah yang "terpilih" oleh Tuhan untuk membela negaranya dari serangan orang-orang asing. Untuk memenuhi maksud tersebut, kita di Amerika, mempersiapkan angkatan bersenjata, amunisi dan kapal perang yang semakin megah dan yang jumlahnya semakin banyak.
Untuk memenuhi maksud patriotismne, baru-baru ini, Amerika mengeluarkan empat ratus juta dolar dalam waktu yang singkat. Cobalah kita pikirkan, empat ratus juta dolar yang diambil dari hasil keringat warga negara (mereka yang membayar pajak). Sudah pasti, bukanlah orang-orang kaya yang menunjang patriotisme. Mereka (orang-orang kaya) adalah manusia kosmopolitan, merasa "di rumah" di setiap negara. Kita di Amerika, tahu mengenai fakta ini dengan jelas sekali ; bukankah, orang kaya Amerika, menjadi orang Perancis di Perancis, orang Jerman di Jerman, atau orang Inggris di Inggris. Tetapi patriotisme itu bukanlah untuk mereka yang berkuasa dan yang kaya. Patriotisme, seperti agama, cukup diterapkan bagi orang awam. Kita diingatkan kepada Frederick the Great, kawan dekat Voltaire, yang berkata, " agama adalah penipuan (yang terorganisir), tetapi harus dipertahankan untuk orang awam ".
Patriotisme adalah sebuah institusi yang mahal, tidak ada orang yang akan menyangkalnya setelah meneliti statistik di bawah ini. Kenaikan perbelanjaan militer (darat dan udara) yang besar mengejutkan setiap pelajar ekonomi yang kritis. Dari tahun 1881 sampai 1905, perbelenjaan militer Inggris naik dari $ 2.101.848.936 ke $4.143.226.885 ; bagi Perancis, dari $3.324.500.000 ke $3.455.109.900 ; bagi Jerman, dari $725.000.200 ke $ 2.700.375.600 ; bagi Rusia, dari $ 1.900.975.500 ke $ 5.250.445.100 ; bagi Amerika, dari $ 1.275.500.750 ke $ 2.650.900.450 ; bagi Itali, dari $ 1. 600.975.750 ke $1.755.500.100 ; bagi Jepang, dari $182.900.500 ke $ 700.925.475.
Dalam periode 1881-1905 kenaikan dalam pengeluaran untuk angkatan bersenjata Inggris naik empat kali lipat ; Amerika, tiga kali lipat ; Rusia, dua kali lipat ; Jerman 35% ; Perancis 15% ; dan bagi Jepang, hampir 500%.
Secara proporsi, pengeluaran militer (darat dan udara) negara-negara tesebut dari total pengeluaran negara, juga naik (untuk periode 1881-1905)) : Di Inggris dari 20 ke 37 %, di Amerika dari 15 ke 23 %, di Prancis dari 16 ke 18%, di Itali dari 12 ke 15 %, di Jepang dari 12 ke 14%. Tetapi, di Jerman, pengeluaran untuk militer menurun dari 58 ke 25 % ; penurunan ini terjadi karena kenaikan dalam pengeluaran untuk hal-hal yang lain yang luar biasa besar jumlahnya.
Perbelanjaan untuk angkatan laut juga sama luar biasa besarnya. Dalam periode yang sama, kenaikan dalam pengeluaran marinir adalah sebagai berikut : Inggris, 300% ; Perancis, 60% ; Jerman, 600% ; Amerika, 525% ; Rusia, 300% ; Itali, 250% ; Jepang, 700%.
Dalam periode 1881-1885, pengeluaran untuk angkatan laut Amerika adalah $6.20 untuk setiap $100 pengeluaran negara ; jumlah ini naik menjadi $6.60 dalam lima tahun berikutnya, menjadi $8.10 pada lima tahun berikutnya dan akhirnya, $16.10 untuk periode 1901-1905. Kita bisa pasti, berdasarkan statistik yang ada, bahwa pengeluran tersebut akan terus naik di tahun-tahun berikutnya.
Kenaikan anggaran perbelanjaan militer dapat kita ilustrasikan lebih jauh dengan menghitung perbelanjaan tersebut sebagai pajak per kapita. Dari (lima tahun) periode pertama (1801-1805) sampai periode kelima (1901-1905), perbandingan pengeluran militer sebagai pajak per kapita dapat kita lihat : di Inggris, dari $18,47 ke $52,50 ; di Perancis dari $19,66 ke $23.62 ; di Jerman dari $10,17 ke $15.51 ; di Amerika dari $5.62 ke $13,64 ; di Rusia dari $6,14 ke $8,37 ; di Itali dari $9,59 ke $11,24 ; di Jepang dari $0,86 ke $3,11.

Penghamburan yang luar biasa yang dibutuhkan patriotisme, merupakan alasan yang cukup untuk menyembuhkan orang yang mempunyai kepandaian rata-rata dari penyakit tersebut.
Orang-orang awam digalakkan untuk menjadi patriotik, dan untuk kemewahan tersebut mereka harus bersedia untuk membantu pembela-pembela negara dan kadang mengorbankan anak mereka. Patriotisme membutuhkan kesetiaan seseorang terhadap bendera, yang artinya kesediaan untuk membunuh ibu, bapa dan sanak saudara.
Alasan pro-militarisme yang sering kita dengar adalah "kita membutuhkan angkatan bersenjata untuk menjaga negara kita dari serangan orang asing." Setiap orang yang pandai tentunya tahu bahwa alasan tersebut hanya dipakai untuk menakut-nakutkan dan memaksa mereka yang jahil. Pemerintah negara-negara di dunia mengetahui keinginan masing-masing dan tidak akan secara sembarang menyerang satu sama lain. Mereka tahu bahwa keinginan mereka bisa dicapai dengan lebih efektif dengan diplomasi. Bahkan, menurut Carlyle, "perang adalah perrgaduhan antara dua orang pencuri yang terlalu takut untuk berperang sendiri ; jadi mereka memakai mereka merekrut orang-orang, memberikan mereka seragam dan senjata, dan membiarkan mereka lepas seperti binatang liar membunuh satu sama lain.
Setiap perang yang dikaji, pasti mempunyai sebab yang sama. Misalnya perang Spanyol-Amerika, yang dikatakan sebagai perang yang hebat dan penuh nilai patriotik dalam sejarah Amerika. Bagaimana perasaan kita dipenuhi dengan kemarahan terhadap orang Spanyol yang kejam ! Betul, bahwa kemarahan kita tidak bangkit secara spontan. Perasaan itu dibangkitkan dengan agitasi koran-koran selama berbulan-bulan.
Tetapi setelah perang usai dan yang gugur telah dikubur ; akibat perang itu dirasakan oleh orang awam, dalam bentuk kenaikan harga barang-barang dan harga sewa rumah. Setelah kita sadar dari buaian patriotisme, tiba-tiba kita tahu bahwa sebab perang Spanyol-Amerika adalah karena harga gula ; atau secara lebih kasar, nyawa, darah dan uang orang Amerika telah dipakai untuk menjaga interest kapitalis Amerika dalam perdagangan gula. Pernyatan di atas tidaklah dilebih-lebihkan, tetapi berdasarkan fakta dan angka.
Penggunaan kekerasan seperti yang disebutkan di atas juga bukan insiden yang langka, contohnya adalah kebijakan pemerintah Amerika terhadap buruh-buruh di Kuba. Ketika Kuba masih dikuasai Amerika, pasukan yang sama yang membebaskan Kuba, diperintahkan untuk menembak buruh tembakau Kuba yang sedang mogok kerja.
Bukanlah hanya kita (di Amerika) yang melakukan perang untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Penyebab perang Rusia-Jepang yang brutal telah diumumkan oleh menteri perang Rusia, Kuropatkin. Kaisar Rusia dan kerabatnya baru berinvestasi dalam usaha pembuatan peralatan perang, dan maksud perang tersebut adalah untuk membuka pasar bagi peralatan perang tersebut.
Alasan bahwa kekuatan militer yang besar adalah jaminan untuk menjaga perdamaian sama logikanya dengan pernyataan bahwa individu yang merasa damai adalah dia yang menjaga dirinya dengan persenjataan yang berat. Pengalaman membuktikan bahwa individu yang bersenjata mempunyai tendensi untuk memamerkan "kekuatannya". Begitu juga halnya dengan pemerintah. Negara yang benar-benar ingin perdamaian tidak akan membuang waktu dan tenaga untuk persiapan perang ; inilah perdamaian abadi. Tetapi keinginan untuk memperbesar kekuatan militer bukanlah karena ancaman dari luar. Ancaman datang dari dalam negeri ; ketidak puasan masa dan buruh atas pemerintah. Angkatan bersenjata dipersiapkan untuk menangani musuh-musuh internal tersebut ; musuh yang kalau telah kesadarannya bangkit, akan jauh lebih berbahaya daripada kekuatan asing dari manapun.
Institusi negara adalah kekuatan yang telah beratus-ratus tahun memperbudak masa melalui penguasaan psikologi masa. Aparatus negara tahu bahwa sebagian besar masa adalah ’anak kecil’ yang bisa dibujuk dengan mainan. Dan kalau mainan ini semakin berwarna-warni, mereka akan semakin suka.
Angkatan bersenjata sebuah negara merupakan "mainan" tersebut. Untuk membuat "mainan" itu lebih menarik ratusan ribu dolar telah dipakai untuk "menghiasinya". Contohnya : pemerintah Amerika mengirim satu konvoi angkatan laut ke Pasifik supaya setiap warga negara Amerika merasa bangga dengan negaranya itu. Kota San Fransisco menghabiskan seratus ribu dolar untuk menyambut konvoi tersebut ; Los Angeles, enam puluh ribu ; Seattle dan Taccoma sekitar serartus ribu. Untuk menyambut konvoi tersebut ? ? Untuk makan dan minum dengan prajurit-prajurit pangkat atas, sedangkan prajurit-prajurit (bawahan) lainnya harus melakukan unjuk rasa untuk sekedar makan yang cukup. Ya, dua ratus enam puluh ribu dihabiskan untuk petasan, pesta dan foya-foya, pada waktu kaum perempuan dan kanak-kanak sedang mengalami kelaparan di seluruh negara ; ketika ribuan penganggur bersedia untuk menjual tenaga mereka semurah-murahnya.
Dua ratus enam puluh ribu dolar ! Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak itu ? Tetapi, bukan untuk roti dan rumah ; anak-anak kota-kota tersebut diajak untuk melihat pesta penyambutan angkatan laut tersebut, supaya mereka ingapat dijatuhkan dari pesawat terbang ke target masyarakat. Kita merasa bangga mengetahui bahwa Amerika akan menjadi negara terkuat di dunia, dan kemudian akan menanamkan kaki besinya di leher negara-negara lain. Itu semua adalah logika patriotisme.
Tetapi, segala dampak buruk patriotisme terhadap masyarakat awam tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penghinaan dan luka yang dirasakan mereka yang bekerja di militer. Mereka adalah korban kejahilan dan takhyul yang patut dikasihani. Dia, pembela dan penjaga negara, apakah yang dapat diberikan patriotisme terhadap seorang prajurit ? Sehari-harinya mereka harus selalu tunduk. Kehidupan mereka penuh dengan kebiasaan buruk (vice), bahaya dan kematian. Ketika saya sedang dalam tur memberikan kuliah di San Fransisco, saya mengunjungi sebuah tempat yang paling indah. Dari sana kita dapat melihat "the Bay" dan "Golden Gate Park". Tempat itu semestinya digunakan untuk sebuah taman untuk anak-anak dan untuk pertunjukan musik. Tetapi, di tempat itu dibangun barak militer yang jelek.
Di barak yang menyedihkan tu, prajurit-prajurit diangon seperti binatang. Di situ mereka membuang waktu mengelap sepatu lars dan lencana mereka untuk diperlihatkan kepada pemimpin mereka. Kehidupan bagi prajurit seringkali tidak mempersiapkannya untuk hidup kembali secara normal dalam masyarakat. Kebanyakan dari mereka tidak mempunyai keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi mereka yang mempunyai keterampilan, kadang mereka tidak bisa beeradaptasi dengan kehidupan normal, dan keterampilannya tersebut tidak dapat sepenuhnya dimanfaatkan. Mereka terbiasa dengan kehidupan yang "idle" (pasif) dan penuh dengan petualangan (adventure). Tidak ada pekerjaan normal yang bisa memuaskan diri mereka. Pendek kata, mereka tidak lagi dapat melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Tetapi, biasanya yang masuk barak itu adalah eks tahanan ; karena mereka susah mencari penghidupan atau memang karena mentalitas mereka sesuai dengan kehidupan militer. Sesudah kontrak militer selesai, biasanya mereka akan kembali kepada kehidupan kriminal, lebih zalim dari sebelumnya. Di Amerika memang lumayan banyaknya eks serdadu yang meringkuk di penjara ; dan angkatan bersenjata juga dipenuhi dengan
eks tahanan.
Dari semua akibat patriotisme yang telah saya jelaskan, yang paling merusakkan adalah pelecehan harga diri seseorang seperti yang diderita oleh serdadu William Buwalda. Karena dia dengan bodohnya percaya bahwa dia bisa menjadi seorang tentara dan juga dapat menerima hak penuhnya sebagai manusia, otoritas militer telah memberikan hukuman berat
 baginya.
Memang betul bahwa dia telah bertugas untuk negara selama lima belas tahun, dan dalam waktu itu, arsipnya bersih dan sempurna. Menurut Jendral Funston yang meringankan hukumannya menjadi tiga tahun penjara, "tugas seorang serdadu adalah kesetiaan yang tidak dapat dipertanyakan kepada pemerintah, meskipun dia tidak setuju dengan pemerintah tersebut." Funston telah menjelaskan arti kesetiaan. Menurutnya, jika seseorang masuk militer, dia secara otomatis menolak Deklarasi Kemerdekaan (bagi dirinya).
Memang suatu perkembangan yang aneh, patriotisme membuat seorang mahluk yang berpikir menjadi mesin yang terprogram. Untuk membenarkan hukuman yang dijatuhkannya kepada Buwalda, Funston memberi tahu orang Amerika bahwa tindakan serdadu itu adalah "tindakan kriminal yang serius yang sama beratnya dengan pengkhianatan ." Apakah tindakan tersebut ? William Buwalda adalah salah satu dari seribu lima ratus orang yang menghadiri sebuah pertemuan di San Fransisco, dan dia berjabat tangan dengan
orator Emma Goldman.
Buwalda telah memberikan hidup dan kejantanannya bagi negaranya. Tetapi semua itu tidak ada artinya. Patriotisme, seperti monster yang tak pernah kenyang, menghendaki semuanya. Patriotisme tidak mengakui bahwa seorang serdadu itu juga adalah seorang manusia, yang mempunyai perasaan dan opininya sendiri, kesukaan dan pahamnya. Tidak, patriotisme tidak dapat mengakui itu. Hal itu adalah pengalaman yang harus dipelajari oleh Buwalda ; pelajaran yang mahal. Kalau dia sudah dibebaskan, dia akan kehilangan kerjanya di militer tetapi dia akan memperoleh kembali harga dirinya. Setelah usai, kebebasan itu memang berharga ’tiga tahun penjara.’
Seorang penulis mengenai kondisi militer Amerika, dalam sebuah artikel baru-baru ini , memberikan komentar tentang kekuasaan yang dipunyai seorang pemimpin militer atas masyarakat sipil di Jerman. Penulis itu berkata bahwa Republik kita (Amerika) tidak mempunyai arti lain, tetapi hanya untuk menjamin hak yang sama bagi semua orang ; dan itu membenarkan keberadaannya.
Saya yakin bahwa penulis itu tidak berada di Colorado semasa rezim patriotik Jenderal Bell. Dia mungkin akan menukar pikirannya, kalau dia menyaksikan bagaimana orang-orang dilempar ke dalam kandang kerbau, diseksa dan diperlakukan dengan tindakan-tindakan yang merendahkan ; semuanya dilakukan dalam nama patriotisme dan republik (Amerika). Kejadian di Colorado hanyalah sebuah contoh bukti perkembangan militer di Amerika. Jika ada pemogokan, jarang sekali tentara dan anggota militia tidak dikerahkan untuk melindungi mereka yang berkuasa ; dan jarang sekali mereka tidak bertindak brutal dan sombong seperti orang-orang yang memakai seragam Kaiser.
Suatu kemalangan bagi penulis-penulis di negara ini adalah mereka sama sekali tidak tahu mengenai hal-hal yang baru terjadi (current affairs) atau mereka tidak mempunyai kejujuran untuk memberitakan apa yang terjadi. Penulis kita itu menyatakan bahwa militer tidak akan menjadi kekuatan di Amerika seperti di luar negeri, karena pendaftaran militer adalah sukarela, bukannya keharusan seperti di negara -negara lain. Tetapi penulis ini lupa mempertimbangkan dua fakta yang sangat penting. Pertama, wajib militer di Eropa telah menimbulkan kebencian terhadap militer oleh seluruh kelas-kelas masyarakat. Beribu-ribu rekrut baru mendafatar dengan terpaksa, dan setelah mereka berada di barak, mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk meninggalkannya. Kedua, wajib militer lah yang telah menimbulkan gerakan-gerakan anti militer yang kuat, yang merupakan kekuatan yang paling ditakuti oleh pemerintah-pemerintah di Eropa. Gerakan dan sentimen anti militarisme dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah (kapitalis) karena benteng yang melindungi dan memperkuat kapitalisme adalah militarisme. Pada saat militarisme dikalahkan, kapitalisme akan hancur.
Memang betul bahwa tidak ada wajib milliter di negara kita, pemuda/i kita tidak dipaksa untuk menjadi tentara, tetapi ada paksaan yang lebih hebat : mereka yang masuk dalam militer berbuat demikian karena kebutuhan. Bukankah suatu fakta bahawa dalam depresi industrial, pendafatran masuk militer meningkat dengan drastis ? Karir dalam militer bukan hanya menarik dan dihargai, tetapi juga lebih baik daripada susah-susah mencari pekerjaan, antri roti atau tidur di tempat-tempat amal. Karir tersebut setidak-tidaknya memberikan tiga belas dolar sebulan, tiga kali makan setiap harinya dan tempat untuk tidur. Tetapi bagi mereka yang mempunyai harga diri dan prinsip, kebutuhan bukanlah alasan untuk masuk militer. Kita tidak perlu heran kalau otoritas militer menyatakan bahwa materi orang-orang yang mendaftar belakangan ini berkualitas buruk. Pernyataan ini adalah tanda yang baik. Artinya rata-rata orang Amerika masih mempunyai sifat mandiri, cinta kebebasan dan berani menanggung resiko kelaparan daripada memakai seragam.
Orang-orang bijak di seluruh dunia mulai sadar bahwa patriotisme adalah sebuah konsep yang picik dan terlalu sempit untuk memenuhi kebutuhan zaman sekarang. Sentralisasi kekuasaan telah menimbulkan solidaritas internasional antara mereka yang tertindas ; solidaritas anatara kaum buruh di Amerika dan diluar negeri ; solidaritas yang tidak perlu takut dengan serangan dari luar, karena kaum buruh akan membuat pernyataan kepada majikan mereka,"kalau anda mahu membunuh silahkan lakukan pembunuhan tersebut sendiri, kami telah melakukannya untuk anda untuk cukup lama."
Solidaritas itu juga telah menyadarkan tentara-tentara bahwa mereka semua adalah bagian dari umat manusia. Contohnya, tentara-tentara Paris menolak menjalankan perintah untuk membunuh saudara-saudara mereka dalam revolusi ’Commune 1871.’ Solidaritas tersebut juga telah memberikan keberanian kepada tentara angkatan laut Rusia untuk berontak dalam kapal perang mereka. Solidaritas akhirnya akan mempersatukan kaum tertindas untuk melawan penindas mereka. Kaum proletar Eropa telah sadar dengan kekuatan dashyat solidaritas, dan karena itu telah menyatakan perang terhadap patriotisme dan militarisme. Beribu-ribu orang memenuhi penjara-penjara di Prancis, Jerman, Rusia dan Scandinavia karena mereka berani melawan tahkyul kuno tersebut (patriotisme). Gerakan ini juga tidak hanya terbatas dengan kaum buruh, tetapi juga seniman, sastrawan/ita dan ahli tehnik.
Amerika harus mengikuti gerakan solidaritas tersebut. Mentalitas militer telah tertanam dalam kehidupan sehari-hari orang Amerika. Saya percaya bahwa militarisme sangat berbahaya karena mereka didukung kaum kapitalisme (sebaliknya kaum kapitalis sangat membutuhkan mereka untuk menjaga kepentingan mereka).
Institusi yang paling dahulu diracuni dengan mentalisme militarisme tersebut adalah sekolah. Pemerintah mempunyai konsep ,"Berilah seorang anak itu kepada saya dan saya akan mengajarnya menjadi ’orang.’ Anak-anak diajari taktik militer, perjuangan militer diagung-agungkan dalam kurikulum pendidikan dan pikiran anak-anak itu dibentuk supaya sesuai dengan tujuan negara. Pikiran anak-anak yang masih ’murni’ tersebut dibanjiri dengan moralitas patriotisme. Kaum pekerja Amerika telah banyak menderita di tangan tentara, dan kejijikannya terhadap parasit berseragam itu memang beralasan kuat. Tetapi kebencian saja tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut. Yang kita perlukan adalah pendidikan propaganda untuk tentara-tentara ; bacaan-bacaan anti patriotik yang akan menyadarkan mereka akan keburukan ’pekerjaannya’ itu dan yang akan menyadarkan mereka akan hubungan yang sebenarnya antara mereka dan kaum pekerja yang dengan hasil kerjanya menghidupi mereka. Tepatnya inilah yang paling ditakuti oleh pemerintah. Bagi seorang tentara, sekedar menghadiri pertemuan yang radikal saja sudah dianggap sebagai pengkhianatan, apalagi kalau dia membaca pustaka radikal. Tetapi bukankah merupakan sifat pemerintah yang selalu mengecap segalanya yang berbau kemajuan sebagai khianat/subversif ? Bagi mereka yang berjuang untuk mengubah keadaan sosial mustilah bersedia untuk menghadapi semua itu ; karena mungkin lebih penting untuk menyebarkan kebenaran di dalam barak daripada di dalam pabrik. Kalau kita dapat mengabaikan patriotisme, kita telah membuka jalan menuju masyarakat yang bebas dimana semua nationalitas berada di bawah naungan persaudaraan universal.
patriotisme
Tanggal 28 Oktober telah berlalu. hari itu adalah hari yang sangat bersejarah bagi bangsa indonesia. Hari terjadinya sumpah bersama seluruh organisasi-organisasi pemuda, membulatkan suara dengan ikrar, satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa yakni bahasa Indonesia.
Sejarah telah membuktikan bahwa ikrar benar-benar yang dipegang teguh, benar-benar sumpah yang dijiwai semangat yang teguh. Bukan “ikrar yang tinggal ikrar” atau “Sumpah yang menjadi sampah”. ini dibuktikan oleh semangat persatuan dan perjuangan merebut dan memperthankan kemerdekaan dari tangan penjajah. berjuang dengan mengorbankan jiwa dan raga. seluruh lapisan masyarakat terlibat bersama serta saling bahu membahu. Generasi tua, apalagi generasi mudanya sama-sama terlibat dalam perang fisik dan perang mental.
Terdapat pada peristiwa 10 Nopember 1945, yanitu suatu pertempuran antara rakyat Indonesia dengan penjajah, dimana rakyat kita menunjukkan semangat yang luar biasa. pada saat itu semangat patriotisme muda tampak jelas. Hal ini dapat dimengerti, karena memang situasinya menghendaki demikian, dimana semangat itu langsung diuji. Sekarang ini perang tidak ada lagi di Negara ini, situasi telah berubah dan bentuk perjuangan telah berubah pula. bangsa kita sekarang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan itu dengan mengisi pembangunan dalam rangka mencapai tujuan kemerdekaan itu sendiri.
Kata patriot berasal dari bahasa latin yaitu : “patria” yang berarti tanah air. Dalam bahasa Inggris patriot diartikan : “one who is devoted to his country” atau “National Loyalty”. Walaupun definisi ini bukan definisi yang paling tepat, paling tidak kita sudah dapat menggambarkan maksud dari kata-kata itu. Patriotisme ini perlu dimiliki oleh setiap warga negara suatu bangsa, karena hal itu merupakan modal utama untuk menumbuhkansense of belonging dan sense of responsibility, serta merupakan hal esensial dalam melaksanakan berbagai perjuangan.
Perasaan patriotisme (sentiment of patriotism) itu tidak mempunyai standar tertentu, tetapi perasaan itu ada dalam setipa diri manusia. hal itu disebabkan bahwa dalam jiwa manusia itu ada perasaan “cinta dan setia”. Perasaan setia dan setia ini termasuk golongan sifat yang terpuji. Oleh sebab itumasalahnya tidak lepas dari masalah nilai-nilai moral (moral values). Secara naluriah, hati nurani manusia itu cenderung untuk nilai-nilai yang baik. memang diakui adanya penyimpangan dari hal tersebut, akan tetapi itu disebabkan oleh hal-hal yang mendatang kemudian. ini tidak akan terjadi selama manusia itu sadar akan self-interest dan self-esteemyang ada padanya sebagai salah satudari sekian banyak individu. Sifat setia dan cinta inilah yang merupakan“mental potential”  pada diri seseorang yang dapat berkembang keluar darinya. (JA)

dikutip dari : Menelisik Keberagamaan Kita Oleh Prof. Dr. Munzir Hitami, M.A Thn 2008













NASIONALISME

DEFINISI PATRIOTISME

Patriotisme berasal dari kata Patriot, yang artinya adalah: pecinta dan pembela tanah air. Sedangkan Patriotisme maksudnya adalah semangat cinta tanah air. Pengertian Patriotisme adalah sikap Untuk selalu mencintai atau membela tanah air, seorang pejuang sejati, pejuang bangsa yang mempunyai semangat, sikap dan perilaku cinta tanah air, dimana ia sudi mengorbankan segala-galanya bahkan jiwa sekalipun demi kemajuan, kejayaan dan kemakmuran tanah air. Untuk memahami arti patriotisme, Coba kita cermati nukilan naskah pidato Bung Karno pada peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1951 berikut ini :
“…. Saudara-saudara … hal `kemakmuran’ dan `keadilan sosial’ ini cita cita kita bukan cita-cita yang kecil. Manakala Revolusi Perancis, misalnya, adalah revolusi untuk membuka pintu buat kapitalisme dan imperialisme, maka revolusi kita adalah justru untuk menjauhi kapitalisme dan imperialisme. Tetapi seperti sudah puluhan, ratusan kali saya katakan: Revolusi bukan sekedar kejadian sehari bukan sekedar satu evenement; revolusi adalah suatu proses, suatu proses destruktif dan konstruktif yang gegap-gempitanya kadang-kadang memakan waktu puluhan tahun. Proses destruktif kita boleh dikatakan sudah selesai, proses konstruktif kita, sekarang baru mulai. Dan ketahuilah, proses konstruktif ini memakan banyak waktu dan banyak pekerjaan. Ya, banyak pekerjaan! Banyak pemerasan tenaga dan pembantingan tulang! Banyak keringat! Adakah di dalam sejarah tercatat suatu bangsa menjadi bangsa yang besar dan makmur zonder (tanpa) banyak mencucurkan keringat? Tempo hari saya membaca tulisan seorang bangsa asing yang mengatakan bahwa “mempelajari sejarah adalah tiada guna.” “History is bunk”, demikian katanya. Tetapi saya berkata: justru dari menelaah sejarah itulah kita dapat menemukan beberapa hukum pasti yang menguasai kehidupan bangsa-bangsa. Salah satu daripada hukum-hukum itu ialah tidak ada kebesaran dan kemakmuran yang jatuh begitu saja dari langit. Hanya bangsa yang mau bekerjalah menjadi bangsa yang makmur. Hukum ini berlaku buat segala zaman, buat segala tempat, buat segala warna kulit, buat segala agama atau ideologi. Ideologi yang mengatakan bahwa bisa datang kemakmuran zonder kerja adalah ideologi yang bohong!
Bila kita mempunyai jiwa rela berkorban demi tanah air dan bangsa, bangga sebagai bangsa Indonesia dan menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi berarti dalam dada kita telah tertanam patriotisme.

Memahami Kembali tentang Nasionalisme Indonesia

 “….Sejarah nasionalisme Indonesia tidak selalu harus berkaitan dengan partai politik dan kolonialisme. Kebebasan yang merupakan salah satu jiwa yang penting dari nasionalisme dapat digunakan untuk melihat munculnya generasi muda yang memberontak terhadap berbagai tradisi”, (Bambang Purwanto, 2005).
Setiap tanggal 20 Mei, di negeri ini selalu diperingati Hari Kebangkitan Nasional. Terlepas bahwa hal itu masih merupakan polemik dengan Sarekat Islam (SI, 1905), namun ia penting diperingati sebagai sebuah refleksi positif bagi bangsa Indonesia. Peringatan Harkitnas menjadi sesuatu yang penting ketika ia dijadikan sebuah refleksi bagi bangsa yang sedang membangun dari berbagai aspek kehidupan. Paling tidak, seluruh komponen masyarakat ini, baik itu para penyelenggara negara (pemerintah) dan seluruh jajarannya,
 dan masyarakat pada umumnya memiliki kesadaran sejarah yang tinggi untuk kemudian dijadikan sebagai bahan pelajaran, bahwa dulu kita pernah bangkit. Kesadaran itu tentu sangat berpotensi untuk meningkatkan atau membangunkan kembali anak bangsa ini yang sedang tertidur lelap. Kesadaran ini sangat diharapkan pula mampu “membius” masyarakat Indonesia agar dapat berkarya yang lebih baik, produktif tidak konsumtif dan tentu dapat berkompetisi dan bersanding dengan negara-negara lain di dunia, atau paling tidak di Asia.
Selama ini, tentu kita telah mempunyai pemahaman sendiri-sendiri tentang cerita bagaimana proses bangkitnya masyarakat Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Cerita itu bisa saja diperoleh dari para guru sejarah, pemerhati sejarah, sejarawan atau dari buku-buku sejarah. Kesamaan cerita itu paling tidak memberikan gambaran bahwa, kebangkitan nasional muncul akibat kolonialisme. Tentu kesimpulan ini tidak seutuhnya salah, karena memang salah satu pemicu bangkitnya bangsa ini adalah karena adanya berbagai eksploitasi sumberdaya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak kedatangannya di Nusantara ini (VOC, 1602).
Kita semua tahu, berdasarkan buku sejarah yang telah kita baca, selalu menjelaskan bagaimana aktivitas Pemerintah Hindia Belanda selama ia menginjakkan kakinya di negeri ini. Namun dalam hal ini, saya tidak mengatakan bahwa Indonesia telah dijajah selama 350 tahun. Berbagai aktivitas itu, seperti adanya sistem tanam (cultuur stelsel, bukan tanam paksa), pemberlakuan berbagai pajak dan undang-undang yang membatasi kebebasan masyarakat pribumi, seperti ordonansi sekolah liar, ordonansi guru, ordonansi haji, dsb.
Kesalahan cara berfikir tentang nasionalisme muncul ketika disimpulkan bahwa bangkitnya bangsa ini hanya semata-mata karena adanya kolonialisme dan imprealisme. Kesalahan ini terus berlanjut, kita kita tidak mampu menjelaskan kepada peserta didik (pada semua tingkatan pendidikan) persoalan realitas sosial sejarah bangsa ini ketika dijajah. Apakah misalnya ketika kita tidak dijajah Belanda maka kita tidak akan pernah bangkit? Seharusnya pertanyaan ini dijawab “tidak”, dengan alasan bahwa bangkitnya masyarakat pribumi adalah karena menginginkan “kebebasan”, dan kehidupan yang lebih baik dari segala bidang kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama.
Kenyataan tersebut mengharuskan kita untuk mendefinisikan ulang (redefinition) tentang nasionalisme Indonesia. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya memahami kembali realitas sosial pada masa lalu bangsa ini. Sehingga, sejarah tampak lebih adil dalam memberikan keterangan kepada masyarakat luas. Definisi ulang di sini, tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa apa yang telah disampaikan oleh para guru dan buku tentang kebangkitan nasional itu adalah salah, namun hanya ingin mengatakan bahwa perlu sedikit memahami jika dalam memahami nasionalisme itu tidak selalu berkaitan dengan kolonialisme.
Kolonialisme adalah sebuah entitas yang ada pada waktu itu, yang juga merupakan bagian faktor pendorong munculnya nasionalisme Indonesia. Namun, ada hal penting lainya yang seperti (sengaja) dilupakan, yakni memahami perasaan masyarakat pribumi (khususnya para pemudanya) pada waktu itu. Pada awal abad ke-20, para pemuda memahami arti penting sebuah “kebebasan” dan keadilan. Pemuda Cokro, Sutomo, Sukarno dan lainnya adalah orang-orang yang merasakan penting kebebasan dan keadilan yag harus terus diperjuangkan. Jadi, proseslah yang kemudian membentuk ide nasionalisme itu yang terakumulasi pada tanggal 20 Mei 1908, yakni terbentuknya organisasi sosial kultural Budi Utomo, dan puncaknya tanggal 28 Oktober 1928, yakni dilantunkan “Sumpah Pemuda”: satu bangsa,
satu tanah air dan satu bahasa yakni Indonesia. Upaya para pemuda yakni dengan membentuk berbagai organisasi, baik organisasi kebangsaan, keagamaan dan sosial kultural, sebagai wadah untuk memperjuangkan nilai-nilai kebebasan dan keadilan itu. Muncullah kemudian Budi Utomo, Sarekat Islam (SI), Indische Partij (IP), PNI sebagai organisasi beraliran kebangsaan, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Musyawaratutthalibin (organisasi lokal terbesar di Kalimantan, 1931) sebagai organisasi keagamaan, serta berbagai organisasi sosial kultural seperti Taman Siswa (Tamsis).
Bagaimana para elite pemuda pribumi menggapai cita-cita kebebasan dan keadilan? Hal itu sangat tampak berbagai program dan orientasi organisasi yang mereka jalankan. Misalnya, SI sangat getol memperjuangkan ekonomi kerakyatan, yakni dengan usaha batik di Solo. Melalui gerakan itu maka diharapkan masyarakat Indonesia dapat hidup sejahtera tanpa tergantung kepada orang lain. Di samping itu, para elite SI juga berusaha melakukan upaya resistensi terhadap berbagai kecurangan-kecurangan dan penindasan yang dilakukan oleh para
ambtenaar-ambtenaar bumi putera maupun Eropa. Bahkan, sesekali juga ia memperjuangkan Indonesia ke arah zelfbestuur(berpemerintahan sendiri). Apa yang dilakukan oleh para elite SI adalah jelas sebagai upaya kebebasan dari berbagai “penindasan” dan rasa keadilan. Ketika golongan Cina tampaknya “berselingkuh” dengan pemerintah kolonial, maka para elite SI dengan cepat tanggap merubah arah perjuangan yakni dengan meningkatkan usaha ekonomi rakyat agar dominasi Cina atas perdagangan dapat di atasi. Berbagai tradisi yang membatasi ke arah kemajuan, juga merupakan pemicu utama munculnya kebangkitan itu, Begitu pula dengan ide zelfbestuur adalah sebuah upaya untuk meraih sebuah hakekat kebebasan.
Karena itu, mungkin tidak berlebihan jika pemahaman kita tentang kebangkitan nasional atau nasionalisme Indonesia tidaklah selalu diidentikkan dengan kolonialisme, akan tetapi bagaimana kita memandang bahwa proses sejarah yang tampak merupakan sebuah upaya meraih cita-cita kebebasan dan keadilan. Atau sebuah upaya mendobrak berbagai tradisi yang memasung berbagai nilai-nilai kebebasan dan keadilan. Hal itu sangat tampak ketika berbagai elite kebangsaan (sekuler) dan agama (religious) secara bersama-sama melakukan aktivitas politik, ekonomi, sosial, budaya (pendidikan) dan agama, dalam rangka upaya mengangkat harkat dan derajat masyarakat pribumi sejak awal abad ke-20. Berdasarkan hal itu pula, maka dapat disimpulkan bahwa nasionalisme adalah sebuah gejala modern yang muncul pada awal abad ke-20 di kota-kota kolonial. Hal ini penting disampaikan sebagai sebuah dekonstruksi atas fakta yang menyatakan bahwa nasionalisme Indonesia sudah ada sebelum abad ke-20.
*pengarang :  adalah tenaga pengajar Prodi Sejarah FKIP Unlam, email:fikri_025@yahoo, blog:
Sumber : www.ikhsankamongan.blogspot.com

No comments:

Post a Comment